Contact UsInvestors

News and Media

CareersScienceContact Us
Home NewsKolaborasi Lintas Sektor, Kesadaran Keluarga, dan Keterlibatan Sekolah: Tiga Faktor Krusial Atasi Pandemi Senyap AMR di Masyarakat 

Kolaborasi Lintas Sektor, Kesadaran Keluarga, dan Keterlibatan Sekolah: Tiga Faktor Krusial Atasi Pandemi Senyap AMR di Masyarakat 

Bali, 22 September 2023 – Resistansi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) adalah ancaman serius bagi kesehatan global. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan 700.000 kematian di seluruh dunia terjadi pada tahun 2017 akibat AMR. Apabila tidak dikendalikan secara optimal, kondisi ini adalah sebuah pandemi senyap yang mengancam hingga 10 juta kematian setiap tahun pada tahun 2050.1

Penyebab AMR adalah penggunaan antimikroba, termasuk antibiotik, secara tidak rasional. Menurut hasil studi, antibiotik dapat dibeli tanpa resep di 64 persen negara Asia Tenggara. Lebih lanjut, hasil survei menyebut hampir 87 persen rumah tangga di Indonesia menyimpan antibiotik.2

Salah satu faktor penting penanganan AMR adalah kolaborasi lintas sektor untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan penggunaan antimikroba secara lebih bijak, seperti melalui program Desa Bijak Antibiotika (SAJAKA) yang diprakarsai oleh One Health Collaboration Center (OHCC) Universitas Udayana.

SAJAKA bertujuan mengubah persepsi, pengetahuan, dan perilaku penggunaan antibiotik di tataran komunitas secara lebih bijak oleh masyarakat di Desa Bengkel, Tabanan, Bali, pada tahun 2021-2023. Program ini didukung oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID), serta diinisiasi dan dilaksanakan melalui Proyek One Health Workforce-Next Generation (OHW-NG) oleh OHCC Universitas Udayana bersama Indonesia One Health University Network (INDOHUN). Dalam praktiknya, SAJAKA mendapat dukungan penuh dari pemerintah Kabupaten Tabanan, serta sejumlah asosiasi, dan perguruan tinggi di Bali. 

Temuan SAJAKA pada program tahun 2021-2022 menyebut bahwa responden menganggap antibiotik diperlukan dalam keadaan sakit tenggorokan (75 persen), demam (72,1 persen), dan batuk pilek (66,6 persen). Lebih jauh lagi, sebagian responden pernah menggunakan antibiotik tanpa resep untuk mengatasi demam (56,1 persen) dan sakit tenggorokan (50 persen).3

Berdasarkan temuan tersebut, OHCC Universitas Udayana memperluas SAJAKA ke empat desa lainnya, yakni Desa Pejaten, Desa Nyitdah, Desa Beraban, dan Desa Belalang, di Kabupaten Tabanan pada tahun 2023-2024 dengan dukungan Pfizer Indonesia. Cakupan program SAJAKA tahun ini juga berkembang, meliputi kegiatan edukasi dan sosialisasi di rumah tangga dan sekolah, mempersiapkan para kader desa, serta penandatanganan nota kesepahaman penanganan AMR di keempat desa tersebut.

Program SAJAKA tahun ini menitikberatkan pelibatan keluarga, tenaga kesehatan dan siswa sekolah sebagai agen perubahan. Menurut Ketua OHCC Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ni Nyoman Sri Budayanti, Sp.MK (K), “Temuan kami pada periode program sebelumnya membuat kami bisa menentukan langkah strategis, termasuk memilih pendekatan dan mitra yang tepat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan penggunaan antibiotik. Komunitas perempuan melalui Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) adalah para pengambil keputusan dalam hal kesehatan keluarga. Sedangkan anak-anak adalah perpanjangan tangan kami di tingkat sekolah agar kesadaran ini dapat tumbuh secara berkelanjutan di masa mendatang.” Selain itu, program ini juga melibatkan para tenaga kesehatan, terutama dokter spesialis mikrobiologi klinik sebagai komunikator dan edukator pencegahan AMR.

I Nyoman Wahya Biantara, Kepala Desa Bengkel yang juga telah mendukung program SAJAKA tahun 2022-2023, sekaligus kader edukasi penggunaan antibiotik di Desa Bengkel mengatakan, “Sosialisasi penggunaan antibiotik secara sederhana dan sesuai dengan kultur setempat membuat edukasi ini diterima dan mudah dipahami oleh masyarakat desa. Kami senang program ini terus berlanjut dan kami dapat terus terlibat menjadi kader pencegahan AMR di lingkungan kami.”

Prof. dr. Agus Suwandono, MPH., Dr.PH., Koordinator INDOHUN mendukung keberlanjutan program ini dan menyampaikan, “Keberlanjutan SAJAKA perlu dijaga bersama-sama oleh semua sektor, baik itu kesehatan manusia, hewan, maupun lingkungan. Replikasi program ke kabupaten dan pulau lain dengan menggunakan pendekatan kreatif seperti yang dilakukan di Bali ini juga perlu dilakukan. Bukan semata-mata karena ini adalah program yang sudah kita bangun bersama, tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran dan melindungi masyarakat.”

 

Sejalan dengan Koordinator INDOHUN, Dr. Sri Suning Kusumawardani, ST., MT., Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemendikbud RI menyampaikan, “Keselarasan kolaborasi antara kalangan akademik di perguruan tinggi dan dunia industriharus terus dioptimalkan untuk menjamin keberlanjutan program yang berdampak kepada masyakarat. Program ini menjadi bukti nyata kolaborasi lintas sektor yang dapat memperkuat karakter mahasiswa sebagai generasi muda yang solutif dan inovatif untuk membangun masyarakat, di mulai dari desa, dengan memanfaatkan perkembangan teknologi.”


Untuk terus memperkuat kolaborasi dan dukungan yang telah dilakukan oleh Kemendikbudristek RI dan USAID selama 3 tahun terakhir, dukungan Pfizer Indonesia dalam program SAJAKA menunjukkan komitmen sektor privat untuk aktif terlibat dalam upaya penanganan AMR. Dengan keahlian dan pengalaman di bidang kesehatan, Pfizer memberikan dukungan pelaksanaan kegiatan yang menunjukkan keseriusan Pfizer terhadap kesehatan dan kualitas hidup masyarakat.

"Keterlibatan Pfizer Indonesia dalam SAJAKA menegaskan komitmen kami sebagai produsen obat-obatan antimikroba inovatif untuk mengambil peran dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia. Upaya ini adalah bagian dari program kami mencegah AMR di tengah masyarakat, selain kami juga terus berupaya mencegah risiko AMR di fasilitas-fasilitas layanan kesehatan seperti melalui gerakan Jitu di ICU dalam Tata Laksana Pemberian Antimikroba yang Bijak dan Rasional: Tepat Waktu, Tepat Pasien, Tepat Guna", kata Policy & Public Affairs Director Pfizer Indonesia & The Philippines Bambang Chriswanto.

“Penanganan AMR di Indonesia memerlukan kolaborasi dan koordinasi menyeluruh antara pihak pemerintah, swasta, dan institusi pendidikan di tingkat daerah dan nasional. Kolaborasi ini menunjukkan bahwa pendekatan berbasis masyarakat (bottom up) dalam menangani AMR dapat diteladani oleh berbagai daerah lain di Indonesia. Keterlibatan Pfizer Indonesia adalah contoh bahwa mitra dari sektor swasta dapat berkontribusi dan memberi dampak positif terhadap penanganan AMR dari komunitas terendah di tingkat desa,” kata Ketua Komite Pengendalian Resistansi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan RI dr. Anis Karuniawati, PhD, SpMK(K).

***

Catatan untuk Redaksi
Resistansi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) adalah suatu kondisi di mana obat antimikroba tidak lagi mempan melawan bakteri, virus, atau jamur di tubuh. Salah satu penyebab terjadinya AMR pada tubuh manusia misalnya pemilihan antimikroba secara tidak tepat, indikasi tidak tepat, dosis tidak tepat, rute (cara) pemberian tidak tepat.1

Referensi
[1] Prof. Dr. dr. Ni Nyoman Sri Budayanti, Sp.MK(K), Orasi Ilmiah “Peningkatan Peran Mikrobiologi Klinik dalam Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis dan Resistansi Antimikroba dengan Pendekatan One Health”, 2023. 
[2] Ibid.
[3] Ni Komang Semara Yanti dkk., The Use of One Health Approach in the Initiation of Desa Bijak Antibiotika/Antibiotic-Wise Village in Bali, Indonesia, https://docs.google.com/presentation/d/1UUeQjvwb3gepb-jHIUaYvqUN6RfRKc5x/edit#slide=id.p1

Kontak Media
Alexandra Suatan ([email protected] | 0856-887-2468)

News and MediaCareer Privacy StatementTerms of Use Contact Us
Copyright © 2023 PT Pfizer Indonesia. All rights reserved.
PP-UNP-IDN-0134-OCT-2022